Sepak bola bukanlah sekedar bola disepak, tapi telah menjadi fenomena kehidupan yang luar biasa, yang hanya dimiliki oleh umat manusia. Sejak dari level piala dunia sampai antarnegara yang terbatas, liga dalam satu negara sampai ke level lebih bawah, sepak bola telah menjelma seakan menjadi agama. Meminjam kerangka sosiolog Robert N Bellah (1967 dan 1992) tentang 'civil religion', sepak bola bukan tidak mirip dengan agama.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat sepak bola menjadi begitu memabukkan dan penuh daya tarik? Ternyata semua itu tidak tercipta hanya karena dasar logika bisnis dan komersialisasi, besaran reputasi, ataupun sekedar mekanisme biotik yang terjadi. Sepak bola dapat mendudukkan dirinya menjadi pesaing agama karena adanya aspek emosi, yang berakar pada sejarah dan keterkaitan sosial budaya yang begitu kental membersamai.
Sang pemuja beserta manusia-manusia pembentuk lakunya, yang selalu berteriak, berpikir, bahkan saling mengkritik dan bersaing hegemonitas semu, atas tak adanya kesamaan ruang waktu. Sementara sang aktor yang bermain, bersorak, bergerak, dan berjuang dalam tetesan keringat. Satu tetesan bersama jutaan usaha, emosi, dan harapan yang tak sekedar dihasilkan oleh sang pemain, namun miliyaran pasang mata dan hati, yang merasakan kesamaan dari resonansi keunikan sepak bola.
Sementara Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan baru bergulir 11 Juni kemarin, kejuaraan serupa sudah berakhir di Jalur Gaza sejak bulan lalu. “Piala Dunia” buatan ini hanya diikuti 16 tim, setengah dari yang berlaga di negeri Benua Hitam itu. Para peserta Piala Dunia di Gaza ini adalah Palestina, Inggris, Turki, Amerika Serikat, Italia, Rusia, Afrika Selatan, Irlandia, Mesir, Aljazair, Spanyol, Serbia, Jerman, Belanda, Prancis, dan Yordania.
Para pemain dari 16 kesebelasan itu berasal dari Liga Sepak Bola Gaza dan para pekerja asing di sana bersatu untuk menunjukkan semangat kerja sama internasional di Gaza. Ada yang tampak aneh dan memang sangat jarang terjadi di Gaza, bendera Amerika berkibar saat parade. Meski didera blokade Israel selama tiga tahun terakhir, sepak bola tetap hidup di Palestina, termasuk Gaza. Hobi sepak bola juga menjalar ke para pemimpin Hamas, termasuk mantan perdana menteri Ismail Haniyah dan Wakil Ketua Biro Politik di Damaskus, Suriah, Musa Abu Marzuq. Bahkan Haniyah pernah menjadi pemain sepak bola.
Saat digelar partai Amerika melawan Serbia, teriakan Amerika terdengar dari tribun stadion. Padahal negara itu bersama Israel selalu menjadi sasaran cacian warga Gaza. Dalam tiap unjuk rasa, bendera kedua negara itu selalu dibakar. Namun kali ini lain. Hisyam Rida, 26 tahun, yang rajin berdemo anti-Amerika dan Israel, malah mendukung Negeri Abang Sam. Tanpa sungkan ia mengibarkan bendera kecil Amerika di tangannya. “Saya tidak punya masalah dengan bendera ini karena sepak bola dimainkan antar-orang, bukan antar-pemerintah,” katanya.
Di partai puncak, Prancis bertemu dengan Yordania, disaksikan 20 ribu pasang mata. Tim dari Negeri Mode pada akhirnya menang dan berhak atas trofi yang diserahkan Ismail Haniyah. Piala itu terbuat dari besi rongsokan sisa gempuran Israel awal tahun lalu, yang menewaskan lebih dari 1.400 orang, setengahnya anak-anak dan wanita. Meski pestanya imitasi, setidaknya warga Gaza telah merasakan atmosfer Piala Dunia.
Pesona nasionalisme gaya lama semacam itu kini kembali dirindukan. Umat manusia dapat bersatu tanpa batas negara. Jika pun pada akhirnya mereka harus berbeda dan berperang karenanya, semata karena dimensi tertinggi dari bangunan perbedaan itu sendiri, yaitu agama. Seperti halnya teknologi, sepak bola bisa menunjukkan pada kita bahwa dunia saat ini seakan menyusut dan dapat dijangkau dengan mudahnya. Di lapangan, kita bisa melihat batas dan identitas nasional seolah-olah disapu begitu saja ke dalam keranjang sampah sejarah sepak bola. Klub-klub terbaik yang bermaterikan pemain lintas negara kini berlaga hampir tiap minggu di turnamen yang juga lintas negara seperti Liga Champions atau Copa Libertadores.
Dalam sepakbola, pertentangan sejarah bisa masuk dalam keranjang sampah. Tata dunia baru ini sungguh menarik dan membuat orang menjadi antusias. Turnamen-turnamen ini tidak hanya menjadi mimpi indah seorang pecandu bola, namun juga hampir setiap masyarakat dunia. Ketika para pelatih mencoba mereka-reka paduan kultural dari daftar pemainnya, hasilnya kerap membuahkan tontonan baru yang menakjubkan. Gaya Italia yang sinis dan defensif disegarkan oleh pemain-pemain Belanda dan Brazil yang menggelandang seenaknya. Gaya kaku Inggris diperlunak sedikit oleh sentuhan kontinental, yang dibawa oleh pemain-pemain Perancis dari seberang kanal Inggris. Gaya dingin dan keras milik Eropa Timur dipadukan dengan kehadiran pemain benua hitam Afrika yang lincah dan pintar menangkap peluang.
Dari apa yang kita saksikan, sepakbola tampaknya jauh lebih akur dengan adanya eksperimen silang budaya––popoler disebut sebagai globalisasi––tersebut ketimbang sistem perekonomian dan politik manapun di muka bumi. Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 pun memanfaatkan keunikan sepak bola sebagai kesempatan untuk berkirim pesan optimisme hidup yang didasari oleh kekuatan persatuan. "Welcome to South Africa, the rainbow country, where black and white live in harmony in spite of our dark past".
Sebutan Afrika hitam adalah catatan masa lalu. Kenyataannya, penduduk di sini punya warna kulit hitam, putih, cokelat, kuning, semuanya ada. Afrika Selatan sekarang menjadi negeri pelangi. Pesan amat mulia ini tidak lagi tersirat, tapi secara tersurat mereka kemukakan melalui media yang sangat kreatif, mereka menggaungkannya melalui theme song Piala Dunia! Lagu yang menyeruak menjadi lantunan wajib pecandu bola seisi muka bumi ini mengandung makna yang amat dalam. Afrika selatan dengan sangat cerdik ingin mengatakan pada dunia bahwa kami adalah bangsa yang justru bangkit dan tetap hidup karena perjuangan di tengah penindasan, yang berawal dari diskriminasi kemanusiaan. Melalui “Wavin Flag”, semua catatan hitam kelam masa lalu, kini tinggal kenangan.
So we struggling, fighting to eat and We wondering when we'll be free, So we patiently wait, for that fateful day, It's not far away, so for now we say
So many wars, settling scores, Bringing us promises, leaving us poor, I heard them say, love is the way, Love is the answer, that's what they say, But look how they treat us, Make us believers, We fight their battles, then they deceive us, Try to control us, they couldn't hold us, Cause we just move forward like Buffalo Soldiers (K'naan - Wavin Flag)
Sekitar 800 tahun, Yahudi berjaya di Mesir sebelum kemudian Fir’aun memaksa mereka untuk kembali ke tanah Palestina. Serbuan Nebukadnezar dari Babilonia dan beberapa abad kemudian oleh Romawi, memaksa Yahudi menyebar ke berbagai wilayah. Di Eropa selama berabad-abad mereka dalam tekanan karena dianggap bertanggungjawab atas kematian Yesus. Sementara dalam kekuasaan Islam Andalusia, Yahudi sangat berjaya. Namun kemudian, di awal abad ke-16, mereka dan warga Muslim dikejar-kejar dan dibantai di Spanyol. Begitupun pada abad ke-20, Hitler menggenapi tekanan hebat atas Yahudi.
Tidak ada bangsa yang harus hijrah dan dalam tekanan seberat Yahudi. Maka sunnatullah-nya, wajar bila kemudian mereka tumbuh menjadi bangsa yang kuat, walaupun kemudian menjadi semena-mena. Penjelajahan memang memberikan kekuatan, yang jika dipadukan dengan ketundukan, akan menghadirkan kemuliaan. Tapi Yahudi dalam urusan ini hanya mendapatkan kemenangan, tapi tidak untuk kemuliaan. Hijrah sebagai prinsip umum menjadi kunci pembangun kekuatan bangsa Yahudi.
Kebangkitan Cina sekarang antara lain juga merupakan hasil peran para Hoakiau atau Tianghoa perantauan. Sejarah panjang bangsa Han juga penuh dengan dinamika hijrah dan petualangan di daratan Asia, mulai dari ekspedisi Zhang Qian di abad ke-2 sebelum Masehi, hingga ekspedisi laut oleh Cheng Ho di abad ke-13. Pertumbuhan ekonomi India sekarang merupakan hasil dari diaspora warganya di seluruh dunia. Hampir tidak ada lembaga penting internasional, baik badan-badan PBB maupun korporasi, yang tanpa warga India. Masyarakat India dan Cina sekarang perlahan menjadi negara besar, karena mereka bergerak untuk menjadi warga dunia, dengan tetap menggenggam erat budaya sendiri.
Dalam sejarah masyarakat Quraish, arti penting hijrah dan ekspedisi untuk membangun kekuatan dan kemakmuran sudah ditunjukkan oleh Hasyim, moyang Nabi Muhammad SAW. Dari Syiria hingga Yaman merupakan wilayah jelajahan mereka. Nabi juga membangun kekuatan dan peradaban Islam melalui Hijrah di tahun 622 Masehi, dan disusul dengan ekspedisi-ekspedisi ke berbagai kawasan mulai dari Ethiopia, Romawi, Spanyol atau Andalusia, hingga Persia.
Dalam sejarah Nusantara, kekuatan dan kemakmuran juga dibangun dengan hijrah dan ekspedisi. Dimulai dari masa yang sangat lama, bahkan sebelum Sriwijaya yang di abad ke-8 sudah berdagang hingga Jepang. Majapahit dan kemudian kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, Gowa hingga Ternate membangun peradaban dengan hijrah dan ekspedisi bisnis. Penjelajahan berbagai bangsa manusia terdahulu itu memang didasari oleh kesadaran tidak baku, tanpa nama, dan tanpa teori. Tapi kini, kita bisa menyebutnya sebagai sebuah usaha “eksperimen silang-budaya”, yang secara nyata menghasilkan kekuatan atau keistimewaan bagi pemiliknya.
Begitu halnya yang terjadi dalam sepak bola. Olahraga ini menjadi perhatian miliyaran pasang mata, padalah tidak semua masyarakat dunia menyukai atau bahkan memahami perhelatan ini. Demam sepak bola begitu dahsyat terjadi karena warga dunia disuguhkan tontonan menarik dimana dunia bersatu dan bisa padu dalam perbedaan. Seperti harkat dan martabat manusia penghuni Benua Hitam yang kini tidak lagi berisikan budak, tapi artis yang berharga begitu tinggi. Pantai gading misalnya, kini menjadi tim nasional urutan 9 di dunia yang memiliki deretan pemain dengan bayaran gaji termahal.
Semua berawal dari datangnya zaman millennium yang menjadi pengawal laju globalisasi pada tahun 2000-an. Seorang Nigeria bernama Erdward Anyamkyegh tiba di bandara Internasional Lviv, Ukraina. Tanda tangan kontraknya dengan klub lokal Ukraina sebagai kiblat sepak bola Eropa Timur, bisa digambarkan sebagai suatu pertanda zaman telah berlalu. Di masa itu, ramual kultural yang ganjil memang sedang merebak. Klub yang tak punya orang Afrika, khususnya Nigeria di dalamnya, dianggap tidak serius berkompetisi sepak bola. Pemilik klub yang tidak membeli pemain Nigeria bukanlah pemilik yang ambisius, begitu kenyataannya. Maka, kedatangan Edward di Ukraina lebih dari sebuah kontrak pembelian, lebih dari sebuah suntkan kecekatan seorang pemain Afrika dalam mengolah si kulit bundar, dan lebih dari sekedar kemahiran seorang pemilik klub dalam merangkai sebuah kesebelasan. Kedatangannya di Ukraina adalah eksperimen silang-budaya.
Keistimewaan itu semakin dapat kita temui dalam Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, yang menjadi generasi awal pembuka eksperimen silang budaya ini ––walaupun Perancis telah memulainya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saat memenangkan partai melawan Spanyol, Swiss kali ini dipimpin seorang kapten Muslim, yaitu Golkhan Ilner. Penyerangnya juga Muslim: Eren Derdiyok, begitu pula yang menggantikannya: Hakan Yakin. Ketiganya keturunan Turki. Di bangku cadangan masih ada dua Muslim keturunan Kosovo: Valon Behrami––yang bermain di klub besar Inggris, West Ham–– dan Xherdan Shaqiri.
Malam sebelumnya, saat Jerman melumat Australia 4 – 0 pun ternyata menyimpan fenomena menarik. Untuk pertama kalinya ada dua Muslim bermain dalam Tim Panser sekaligus, pertama Mesut Oezil yang keturunan Turki dan Sami Khedira yang keturunan Tunisia. Di bangku cadangan pun masih ada nama Muslim lainnya, Serdar Tasci. Oezil pun malam itu disebut-sebut sukses memainkan peran kapten Michael Ballack yang absen karena cidera.
Jerman, Belanda, Swiss, dan dimulai oleh Perancis, telah sukses mengawali sejarah baru hubungan antar manusia seisi dunia yang sebenarnya kembali pada gaya nasionalisme lama, yaitu diyakininya kosmopolitanisme dalam bentuk pemahaman “universalisme substantif”. Mereka percaya pada para pemain “berbangsa tanpa negara” itu untuk bersatu dalam tim nasionalnya karena kemampuan, keistimewaan, dan kehadirannya yang justru dapat membuat perbedaan.
Ada magnet kosmos (alam semesta) yang menghubungkan antara perisitwa dan individu manusia. Inilah yang disebut "kehendak zaman". Keadaan ini sebenarnya berawal dari kehendak semesta yang dibawa oleh manusia, dan saat semua bertemu, maka seluruh alam semesta akan bersatu untuk memastikan terjadinya momentum “kehendak zaman” itu. Kini, dengan teknologi hasil ciptaan (kehendak) manusia yang semakin gigantik, dunia akan semakin tidak mengenal batas ruang. Walaupun, kini cukup banyak manusia yang belum menyadari telah terjadinya “kehendak zaman” dalam bentuk interdependensi silang budaya, atau dalam bahasa populernya disebut globalisasi.
Permainan si kulit bundar dalam lapangan hijau pun akan bergerak mengikuti arah zaman. Tanda-tanda telah terjadinya kehendak zaman tersebut setidaknya dapat dilihat dari tenggelamnya klub eksklusif yang mengedepankan semangat rasisme seperti Paris Saint-Germain, Glasgow Rangers, dan Red Star Beograd. Transformasi Liga Premier Inggris dengan menempatkan banyak pemain lintas negara dan mampu menjadikannya liga terbaik dunia yang dulu dipegang oleh Serie A Italia. Dalam konteks lain, misalnya kemenangan Obama di tengah kebengisan Amerika, walau kita percaya Obama hanyalah topeng dan intrik cantik yang muncul sebagai pembeda. Insiden Mavi Marmara yang berisikan relawan lintas negara dan agama, hingga seluruh dunia membuka mata pada Palestina. Ketahanan Indonesia sebagai negara multikultural dalam menghadapi krisis keuangan global. Hingga pilihan politik PKS untuk merapat ke tengah dan keputusan Partai Demokrat dengan merekrut lawan politiknya dalam koalisi pemerintahan RI.
Lihatlah serpihan-serpihan peristiwa di atas dengan “kacamata substansi”. Terlepas dari kepentingan dan tujuan dari terjadinya peristiwa tersebut, substansi yang dapat disemai adalah mereka yang menjadi pemenang atau mendapatkan simpati dari sesama manusia lain adalah yang dapat mengindentifikasi titik tengah dalam pusaran kepentingan dan tarikan perbedaan.
Perbedaan pasti akan melahirkan kekuatan, kedinamisan, daya tahan, dan kreativitas. Namun menyadarinya tidak semudah menyulut konflik karena kehadirannya. Manusia baru akan sadar sepenuhnya akan “kearifan perbedaan”, saat dunia sudah terpolusi oleh usia. Barulah semua sadar akan banyaknya bangunan berbatas tembok yang terlewat tinggi menghalangi setiap sisi kemanusiaan. Kita semua akan kembali membela nasionalisme gaya lama dalam “taman sari internasionalisme” (kemanusiaan). Karena selama ini kita terjebak oleh batas negara, bukan pada susbtansi kehidupan antar manusia.
Dunia yang semakin tanpa batasan ruang (boundaryless) mengharuskan kita memahami keberadaan perbedaan. Begitu pula dalam sepakbola. Karena ternyata, kekelaman sejarah manusia dapat masuk dalam kantong sampah karena sepak bola. Mereka yang menjadi pemenang, mendapatkan simpati tertinggi pendukung seluruh dunia, adalah tim yang mampu memadukan nasionalisme dengan kosmopolitanisme, ku menyebutnya sebagai hibridisasi kemanusiaan.
Sementara, para pengecam sepak bola merasa yakin bahwa olahraga ini pada dasarnya berujung pada kematian dan kehancuran. Mereka berpendapat bahwa sepak bola membangkitkan identitas-identitas tribal yang seharusnya sudah sirna dalam dunia dimana globalisasi menjadi kehendak zaman baru. Saat emosi-emosi para pecandu sepak bola terus menggunung dan tak terbendung, mereka pun meledak dalam kekerasan ekstatis yang gelap dan kalap. Negeri kita dapat menjadi contoh nyata, jalur kereta api utara pulau Jawa menjadi saksi atas serangan para pengangguran kesetanan pencari identitas––sebut saja Jakmania Jakarta, Viking Bandung, Aremania Malang, Pasoepati Solo, Bonek Surabaya. Darah dan pecahan kaca menemani ratusan penumpang yang mencari kenikmatan dalam perjalanan. Bodoh, binatang, dan memalukan. War of foolish.
Tapi, banyak klub ataupun tim yang menyelematkan sepak bola dari kritik-kritik semacam itu. Terlalu banyak justru yang telah membuktikan bahwa fanatisme sepak bola melahirkan rasa cinta, persaudaraan, dan perdamaian kemanusiaan. Sepakbola berada pada sisi moderat, mampu merangkum perbedaan tanpa gesekan konflik. Tribalisme yang lebih sering berawal dari nasionalisme, dapat dipadukan dengan kosmopolitanisme yang teracik dan menghasilkan pertunjukan menarik. Seperti, setiap pemain yang dipanggil menjadi pemain tim nasional adalah mereka yang terbaik. Etnis tidak lagi menjadi kuasa, etnosentrisme tunduk, substansi sepak bola itu sendiri yang ditunjukkan dengan kompetensi yang pada akhirnya menjadi pendamai kepentingan. Mungkin kini, hanya dalam sepakbola kosmopiltanisme dapat bersatu padu dengan nasionalisme patriotik.
Internazionale mengawali gagasan ini dengan sangat berani. Sebelum tahun 1908 di kota Milan hanya ada satu klub sepakbola, Milan Cricket and Football Club. Namun pada malam tanggal 9 Maret 1908 berdirilah Internazionale Club Football of Milan yang memisahkan diri dari AC Milan. Para pendiri inter sebenarnya adalah anggota AC Milan yang bercita-cita untuk mendirikan sebuah klub yang universal. Sesuai dengan namanya, Inter menjadi klub pertama di Italia yang memperbolehkan pemain asing di luar Italia untuk memperkuat tim. Bahkan kapten pertama Inter, Mankti, adalah warga negara Swiss. Internazionale dengan eksperimen silang-budaya baru saja melahirkan sejarah baru, tim Itaia pertama yang meraih treble, dan sukses merengkuh piala Champions setelah 45 tahun hilang dari genggaman mereka.
Menariknya, filosofi Inter Milan itu hampir sama dengan memukaunya konsep milik klub Barcelona. Walau belum ada konfirmasi pasti akan kebenarannya, Barca ternyata sengaja memiliki warna seragam merah birunya dari triwarna Revolusi Prancis. Manuel Vasquez Montalban, seorang penulis kontemporer terbesar Spanyol, mengarang novel tentang Barca berjudul Offside. Ia gambarkan klub ini sebagai “senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara. Kemenangan demi kemenangan El Barca ibarat kemenangan warga Athena atas Sparta”. Stadion Barcelona selalu dipenuhi oleh kaum perempuan dan anak-anak lebih dari stadion manapun di Eropa. Kaum imigran dari selatan Spanyol memadati pula stadion Barca. Mereka hendak mematutkan diri dengan Barca agar memudahkan asimilasi mereka dalam hidup kesehariannya di Katalunya.
Lebih hebat lagi, Barca bukan cuma menyelamatkan sepakbola dari para pengecamnya. Tapi Barca juga menyelamatkan konsep nasionalisme itu sendiri. Sepanjang akhir abad 20, pemikir-pemikir politik liberal mulai filosof Martha Nussbaum sampai arsitek-arsitek Uni Eropa menyalahkan nasionalisme sebagai penyebab sebagian besar malapetaka modernitas. Mereka mengutuk nasionalisme sebagai “tribalisme dalam samaran modern”. Bila kita menanggalkan keterpakuan pada identitas-identitas nasional ini, barulah kita bisa benar-benar melampaui etnosentrise, chauvinism, serta pertumpahan darah yang menjijikkan. Untuk mengganti nasionalisme, mereka usulkan agar kita menjadi kosmpolitan. Patriotisme dikandangkan, dan pranata-pranata serta hukum-hukum internasional diberlakukan pada pemerintahan.
Gambaran yang indah memang, namun tidak sepenuhnya realistis. Karena kehidupan modern justru ternyata membuka celah bagi manusia untuk lebih menghasratkan identitas kelompok, hanya kemasannya saja yang seakan individual. Maka, bangsa menjadi satu-satunya kendaraan yang memungkinkan impulse tersebut. Menyangkal hasrat ini berarti menyangkal watak dan martabat manusia. namun lagi-lagi, dalam sepak bola, patriotisme dan kosmopolitanisme bisa menyatu dan saling mengisi dengan hampir sempurna. Kita bisa mencintai negara kita sendiri––atau bahkan menganggapnya sebagai kelompok masyarakat unggulan––tanpa hasrat untuk mendominasi kelompok-kelompok masyarakat lain atau menutup diri dari pengaruh asing. Dan ini ternyata bukan sekedar teori dalam sepak bola. Inilah semangat yang dimiliki oleh sebuah klub bernama, Barcelona. Luarbiasa.
Namun, memang tidak semua eksperimen silang budaya mengisyaratkan perpaduan yang dapat menghadirkan kemenangan bersama. Globalisasi yang kita kenal justru menjadi alat berbentuk tameng untuk menyembunyikan kepentingan ekonomi, bisnis, politik, sosial budaya, bahkan agama. Persis seperti trilogi “Gold, Glory, Gospel”. Namun menurut pengkritik maupun pendukung ekspersimen silang-budaya atau lebih dikenal dengan bahasa globalisasi, budaya global seharusnya dapat menyapu bersih pranata-pranata lokal yang terlampau tradisional. Karena sebagai bagian dari jalinan masyarakat, sepak bola ternyata justru menjadi wahana pelestarian tradisi.
Begitupun dalam pertandingan antara Celtics dan Rangers di belahan bumi Skotlandia yang selalu menjadi hari-hari yang rawan gesekan. Pertikaian antara kedua seteru yang menghuni satu kota ini telah menghasilkan kisah-kisah horor persepakbolaan. Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dan gerakan reformasi Protestan. Di seluruh penjuru tribun, supporter Rangers mengibarkan panji-panji oranye untuk memperingati penggulingan monarki Katolik tahun 1688 oleh William of Orange (atau yang mereka sebut “Raja Billy”). Rangers kerap bernyanyi, “Halo, halo, kami ini Billy Boys”, yang mereka maksud adalah geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow antara Perang Dunia pertama dan kedua. Billy Boys lah yang juga mendirikan cabang lokal Ku Kluk Klan pada tahun 1920-an.
Tapi setidaknya sepak bola memberikan jawaban bagi dunia, bahwa sejarah kelam bisa masuk keranjang sampah dan berbalas kesenangan hingga kegilaan miliyaran jiwa manusia. Etnisitas dan keyakinan antar manusia pun ternyata dapat tergadaikan oleh logika bisnis yang didasari oleh fanatisme pecandu sepak bola. Rangers dan Celtic ternyata tidak benar-benar melakukang peperangan bengis antar agama. Ini terlihat saat kubu Protestan bertempik sorak atas sebuah gol, mereka diprovokasi oleh kapten kesebelasan Lorenzo Amoruso ––seorang Italia berambut gondrong. Sambil menghentak-hentakkan tangan ia meminta mereka menyanyikan lagu-lagu anti-Katoliknya lebih lantang lagi. Namun ironisnya, ternyata Amoruso sendiri adalah seorang Katolik! Ini terjadi karena uang bisa membeli apa saja. Uang yang didasarkan atas emosi yang membentuk fanatisme dalam sepak bola. Sehingga kemudian, juara dan antusiasme pendukung lebih penting daripada kemurnian agama.
Eksperimen silang budaya yang sukses dibawa oleh sepak bola tersebut memang diawali oleh terjadinya resonansi yang berujung pada satu kata, yaitu emosi. Resonansi terjadi saat ada dua entitas berbeda yang menjalin kesamaan, dan bergetarlah mereka dalam frekuensi yang sama. Sementara emosi, satu hal dalam bahasan sepak bola yang memiliki sisi begitu menakjubkan. Maka, tidak tepat, jika sepak bola dibatasi dalam sempitnya ruang persepsi, yang hanya berarti besaran reputasi, bisnis dan komersialisasi, apalagi sekedar aktivitas fisik. Sungguh tak pantas. Karena, sepakbola telah memaknai dirinya sendiri, ialah sebuah resonansi emosi.
Referensi: Foer, Franklin. 2006. Memahami Dunia Lewat Sepak Bola. Assegaf, Faisal, 2010 Tempo Interaktif. Ukhrowi, Zaim. 2010 Resonansi Republika.
Ada kaitan sepak bola dengan pembataian Muslim Bosnia, dengan budaya korupsi di Dunia Ketiga, dengan bangkitnya sentimen-sentimen rasial dan konflik keagamaan, dengan Zonisme maupun anti-Semitisme, dengan aksi-aksi hooligan Inggris, dengan keberadaan intelektual bawah tanah Italia berhaluan kiri pendukung Inter Milan, dengan falsafah Barcelona tentang konsep nasionalisme inklusif yang menggambarkan keterikatan warga dunia di atas kebebasan setiap manusia. Maka, sepakbola bukan sekedar olahraga. Sepak bola telah menjadi alat untuk memahami seluk beluk dunia kontemporer. Sepak bola juga mengajarkan pada kita agar bisa menempatkan diri di atas nilai-nilai universal kehidupan manusia seisi bumi.
Karena bola itu bundar, dan lapangan memiliki empat sudut yang ditutup dengan tribun berbentuk lingkaran. Sepak bola akan selalu 'bulat tanpa sudut', karena semua kemungkinan dapat terjadi tanpa sentuhan paksa ataupun kehendak individu manusia. Garis tepi hanya berarti di dalam lapangan, selebihnya sepak bola mengajarkan pada kita akan arti satu kesatuan tanpa fragmen sudut. Sepak bola mampu menjadikan manusia bersatu dalam tajamnya batas perbedaan pandangan, kepentingan, ras, sejarah, ekonomi, politik, budaya, bahkan agama.
Lalu, apakah Piala-Piala Dunia selanjutnya akan terus menjadi milik negara besar yang memberikan ruang lebih banyak bagi para pemain berbangsa tanpa batas negara? ––seperti Jerman, Belanda, Perancis, atau Inggris. Argentina dan Brazil sudah otomatis masuk hitungan, karena keduanya justru donor universal dalam eksperimen silang-budaya pemain sepak bola seluruh dunia. Atau bahkan akan berganti pada negara-negara semacam Portugal, Spanyol, Swiss, Kroasia, Amerika Serikat, dan Swedia yang telah sadar untuk memulai 'eksperimen tanpa sudut' dalam deretan pemain tim nasionalnya?
Pustaka Belajar Merupakan Media pembelajaran yang di desain dengan menyajikan Opini, Artikel, wawasan tentang seni, perpustakaan, dan juga membagikan beragam bacaan dalam format E-book (PDF) yang bisa segera di akses dan di unduh. Pustaka belajar ini dimotivasi dalam meningkatkan budaya literasi dan membaca. selain itu, kami juga menerima buku dengan Format PDF yang bisa dikirim ke kontak kami. jadilah bagian Pustaka Belajar dalam meningkatkan budaya membaca di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment